Babad Panjalu (III)
Situ
Lengkong
Situ Lengkong sekarang termasuk kedalam wilayah Desa/Kecamatan Panjalu
Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Dalam Bahasa Sunda; kata situ artinya danau. Situ
Lengkong atau dikenal juga dengan Situ Panjalu terletak di ketinggian 700 m
dpl. Di tengah danau tersebut terdapat sebuah pulau yang dinamai Nusa Larang
atau Nusa Gede atau ada juga yang menyebutnya sebagai Nusa Panjalu. Menurut
legenda rakyat dan Babad Panjalu, Situ Lengkong adalah sebuah danau buatan,
sebelumnya daerah ini adalah kawasan legok (bhs. Sunda : lembah) yang
mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu (Bhs. Sunda: pasir artinya bukit).
Ketika Sanghyang Borosngora pulang menuntut ilmu dari tanah suci Mekkah, ia
membawa cinderamata yang salah satunya berupa air zamzam yang dibawa dalam gayung
batok kelapa berlubang-lubang (gayung bungbas). Air zamzam itu ditumpahkan ke
dalam lembah dan menjadi cikal-bakal atau induk air Situ Lengkong. Bukit yang
ada di tengah lembah itu menjelma menjadi sebuah pulau dan dinamai Nusa Larang,
artinya pulau terlarang atau pulau yang disucikan, sama halnya seperti kota
Mekkah yang berjuluk tanah haram yaitu tanah terlarang atau tanah yang
disucikan; artinya tidak sembarang orang boleh masuk dan terlarang berbuat hal
yang melanggar pantangan atau hukum di kawasan itu.
Pada masa pemerintahan Prabu Sanghyang Borosngora, pulau ini dijadikan pusat
pemerintahan Kerajaan Panjalu. Di Nusa Larang ini bersemayam juga jasad
tokoh-tokoh Kerajaan Panjalu yaitu Prabu Rahyang Kancana, Raden Tumenggung
Cakranagara III, Raden Demang Sumawijaya, Raden Demang Aldakusumah, Raden
Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV) dan Raden Prajasasana Kyai Sakti.
Situ Lengkong memiliki luas kurang lebih 67,2 hektare, sedangkan Nusa Larang
mempunyai luas sekitar 16 hektare. Pulau ini telah ditetapkan sebagai cagar
alam sejak tanggal 21 Februari 1919. Nusa Larang ini pada zaman Kolonial
Belanda dinamai juga Pulau Koorders sebagai bentuk penghargaan kepada Dr
Koorders, seorang pendiri sekaligus ketua pertama Nederlandsch Indische
Vereeniging tot Natuurbescherming, yaitu sebuah perkumpulan perlindungan alam
Hindia Belanda yang didirikan tahun 1863.
Sebagai seorang yang menaruh perhatian besar pada botani, Koorders telah
memelopori pencatatan berbagai jenis pohon yang ada di Pulau Jawa. Pekerjaannya
mengumpulkan herbarium tersebut dilakukan bersama Th Valeton, seorang ahli
botani yang membantu melakukan penelitian ilmiah komposisi hutan tropika.
Koorders dan rekannya itu pada akhirnya berhasil memberikan sumbangan pada
dunia ilmu pengetahuan. Berkat kerja kerasnya kemudian terlahir buku Bijdragen
tot de Kennis der Boomsoorten van Java, sebuah buku yang memberi sumbangan
pengetahuan tentang pohon-pohon yang tumbuh di Pulau Jawa.
Sebagai cagar alam, Nusa Larang memiliki vegetasi hutan primer yang relatif masih
utuh dan tumbuh secara alami. Di sana terdapat beberapa jenis flora seperti
Kondang (Ficus variegata), Kileho (Sauraula Sp), dan Kihaji (Dysoxylum). Di
bagian pulau yang lebih rendah tumbuh tanaman Rotan (Calamus Sp), Tepus
(Zingiberaceae), dan Langkap (Arenga).
Sedangkan fauna yang hidup di pulau itu antara lain adalah Tupai (Calosciurus
nigrittatus), Burung Hantu (Otus scop), dan Kelelawar (Pteropus vampyrus).
Nyangku
Nyangku adalah suatu rangkaian prosesi adat penyucian benda-benda pusaka
peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora dan para Raja serta Bupati Panjalu
penerusnya yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit.
Upacara Nyangku 2003. Sesepuh Panjalu, berpakaian adat Sunda warna hitam dari
kiri ke kanan: HRM Tisna Argadipraja, HR Atong Tjakradinata.
Upacara Nyangku ini dilaksanakan pada Hari Senin atau Kamis terakhir Bulan
Maulud (Rabiul Awal), pada prosesi ini benda-benda pusaka itu dikeluarkan dari
tempat penyimpanannya di Pasucian Bumi Alit lalu dikirabkan menuju Nusa Larang
Situ Lengkong. Sesampainya di Nusa Larang, arak-arakan melakukan ritual
pembacaan doa bagi arwah leluhur Panjalu untuk menghormati jasa-jasa mereka di
hadapan pusara Prabu Rahyang Kancana.
Setelah itu, benda-benda pusaka diarak kembali ke Alun-alun Panjalu untuk
disucikan lalu disimpan kembali di Pasucian Bumi Alit. Tradisi Nyangku ini
mirip dengan upacara Sekaten di Yogyakarta juga Panjang Jimat di Cirebon, hanya
saja selain untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, acara Nyangku
juga dimaksudkan untuk mengenang jasa Prabu Sanghyang Borosngora yang telah
menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat dan keturunannya.
Tradisi Nyangku ini konon telah dilaksanakan sejak zaman pemerintahan Prabu
Sanghyang Borosngora, pada waktu itu, Sang Prabu menjadikan prosesi adat ini
sebagai salah satu media Syiar Islam bagi rakyat Panjalu dan sekitarnya.
Bumi Alit
Pasucian Bumi Alit Panjalu 2009
Pasucian Bumi Alit atau lebih populer disebut Bumi Alit saja, mulai dibangun
sebagai tempat penyimpanan pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora oleh
Prabu Rahyang Kancana di Dayeuh Nagasari, Ciomas. Kata-kata bumi alit dalam
Bahasa Sunda berarti "rumah kecil" .
Benda-benda pusaka yang tersimpan di Bumi Alit itu antara lain adalah:
1. Pedang, cinderamata dari Baginda Ali RA, sebagai senjata yang digunakan
untuk pembela diri dalam rangka menyebarluaskan agama Islam.
2. Cis, sebagai kelengkapan dalam berdakwah atau berkhutbah dalam rangka
menyebarluaskan ajaran agama Islam.
3. Keris Komando, senjata yang digunakan oleh Raja Panjalu sebagai penanda
kedudukan bahwa ia seorang Raja Panjalu.
4. Keris, sebagai pegangan para Bupati Panjalu.
5. Pancaworo, digunakan sebagai senjata perang pada zaman dahulu.
6. Bangreng, digunakan sebagai senjata perang pada zaman dahulu.
7. Gong kecil, digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan rakyat pada zaman
dahulu.
8. Kujang, senjata perang khas Sunda peninggalan seorang petapa sakti bernama
Pendita Gunawisesa Wiku Trenggana (Aki Garahang) yang diturunkan kepada para
Raja Panjalu.
Rd.Hanafi Argadipradja (1901-1973)
Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Wirapraja bangunan Bumi Alit
dipindahkan dari Dayeuh Nagasari, Ciomas ke Dayeuh Panjalu seiring dengan
perpindahan kediaman Bupati Tumenggung Wirapraja ke Dayeuh Panjalu. Pasucian
Bumi Alit dewasa ini terletak di Kebon Alas, Alun-alun Panjalu.
Pada awalnya Bumi Alit berupa taman berlumut yang dibatasi dengan batu-batu
besar serta dilelilingi dengan pohon Waregu. Bangunan Bumi Alit berbentuk mirip
lumbung padi tradisional masyarakat Sunda berupa rumah panggung dengan kaki-kaki
yang tinggi, rangkanya terbuat dari bambu dan kayu berukir dengan dinding
terbuat dari bilik bambu sedangkan atapnya berbentuk seperti pelana terbuat
dari ijuk.
Ketika di Jawa Barat berkecamuk pemberontakan DI/TII S.M. Kartosuwiryo
(1949-1962) yang marak dengan perampokan, pembantaian dan pembakaran rumah
penduduk oleh para pemberontak, benda-benda pusaka yang tersimpan di Pasucian
Bumi Alit itu diselamatkan ke kediaman sesepuh tertua keluarga Panjalu yaitu
Raden Hanafi Argadipradja, cucu Raden Demang Aldakusumah di Kebon Alas,
Panjalu.
Pada tahun 1955, Bumi Alit dipugar oleh warga dan sesepuh Panjalu yang bernama
R.H. Sewaka (M. Sewaka) mantan Gubernur Jawa Barat (1947-1948, 1950-1952).
Hasil pemugaran itu menjadikan bentuk bangunan Bumi Alit yang sekarang, berupa
campuran bentuk mesjid zaman dahulu dengan bentuk modern, beratap susun tiga.
Di pintu masuk Museum Bumi Alit terdapat patung ular bermahkota dan di pintu
gerbangnya terdapat patung kepala gajah. Hingga kini, pemeliharaan Museum Bumi
Alit dilakukan oleh Pemerintah Desa Panjalu yang terhimpun dalam ‘Wargi
Panjalu’ di bawah pengawasan Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Ciamis.
Daftar Para Batara, Raja, Bupati dan Demang Panjalu Beserta Pusara/Petilasannya
1. Batara Tesnajati di Karantenan Gunung Sawal.
2. Batara Layah di Karantenan Gunung Sawal.
3. Batara Karimun Putih di Pasir Kaputihan Gunung Sawal.
4. Prabu Sanghyang Rangga Gumilang atau Sanghyang Rangga Sakti di Cipanjalu,
Desa Maparah, Panjalu.
5. Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
6. Prabu Sanghyang Cakradewa di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
7. Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II di Cimalaka Gunung Tampomas, Sumedang.
8. Prabu Sanghyang Borosngora (adik Sanghyang Lembu Sampulur II) di Jampang
Manggung, Sukabumi.
9. Prabu Rahyang Kuning di Cibungur, Desa Kertamandala, Panjalu.
10. Prabu Rahyang Kancana (adik Prabu Rahyang Kuning) di Nusa Larang, Situ
Lengkong Panjalu.
11. Prabu Rahyang Kuluk Kukunangteko di Cilanglung Desa simpar, Panjalu.
12. Prabu Rahyang Kanjut Kadali Kancana di Sareupeun, Desa Hujungtiwu, Panjalu.
13. Prabu Rahyang Kadacayut Martabaya di Hujung Winangun, Situ Lengkong
Panjalu.
14. Prabu Rahyang Kunang Natabaya di Ciramping, Desa Simpar, Panjalu.
15. Raden Arya Sumalah di Buninagara, Desa Simpar, Panjalu.
16. Pangeran Arya Sacanata (adik R. Arya Sumalah) di Nombo Dayeuhluhur,
Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.
17. Raden Arya Wirabaya (anak R. Arya Sumalah) di Cilamping, Panjalu.
18. Raden Tumenggung Wirapraja (anak R. Arya Wirabaya) di Kebon Alas
Warudoyong, Panumbangan Ciamis.
19. Raden Tumenggung Cakranagara I (anak R. Arya Wiradipa bin Pangeran Arya
Sacanata) di Cinagara, Panjalu.
20. Raden Tumenggung Cakranagara II di Puspaligar, Panjalu.
21. Raden Tumenggung Cakranagara III di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
22. Raden Demang Sumawijaya di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
23. Raden Demang Aldakusumah di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
Mitos Maung Panjalu
Mempelajari sejarah dan kebudayaan Panjalu tidak akan lepas dari berbagai
tradisi, legenda, dan mitos yang menjadi dasar nilai-nilai kearifan budaya
lokal, salah satunya adalah mitos Maung Panjalu (Harimau Panjalu). Sekelumit
kisah mengenai Maung Panjalu adalah berlatar belakang hubungan dua kerajaan
besar di tanah Jawa yaitu Pajajaran (Sunda) dan Majapahit.
Menurut Babad Panjalu kisah Maung Panjalu berawal dari Dewi Sucilarang puteri
Prabu Siliwangi yang dinikahi Pangeran Gajah Wulung putera mahkota Raja
Majaphit Prabu Brawijaya yang diboyong ke Keraton Majapahit. Dalam kisah-kisah
tradisional Sunda nama Raja-raja Pajajaran (Sunda) disebut secara umum sebagai
Prabu Siliwangi sedangkan nama Raja-raja Majapahit disebut sebagai Prabu
Brawijaya.
Ketika Dewi Sucilarang telah mengandung dan usia kandungannya semakin mendekati
persalinan, ia meminta agar dapat melahirkan di tanah kelahirannya di
Pajajaran, sang pangeran mau tidak mau harus menyetujui permintaan isterinya
itu dan diantarkanlah rombongan puteri kerajaan Pajajaran itu ke kampung
halamannya disertai pengawalan tentara kerajaan.
Suatu ketika iring-iringan tiba di kawasan hutan belantara Panumbangan yang
masuk ke dalam wilayah Kerajaan Panjalu dan berhenti untuk beristirahat
mendirikan tenda-tenda. Di tengah gelapnya malam tanpa diduga sang puteri
melahirkan dua orang putera-puteri kembar, yang lelaki kemudian diberi nama
Bongbang Larang sedangkan yang perempuan diberi nama Bongbang Kancana. Ari-ari
kedua bayi itu disimpan dalam sebuah pendil (wadah terbuat dari tanah liat) dan
diletakkan di atas sebuah batu besar.
Kedua bocah kembar itu tumbuh menuju remaja di lingkungan Keraton Pakwan
Pajajaran. Satu hal yang menjadi keinginan mereka adalah mengenal dan menemui
sang ayah di Majapahit, begitu kuatnya keinginan itu sehingga Bongbang Larang
dan Bongbang Kancana sepakat untuk minggat, pergi secara diam-diam menemui ayah
mereka di Majapahit.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh mereka tiba dan beristirahat di
belantara kaki Gunung Sawal, Bongbang Larang dan Bongbang Kancana yang kehausan
mencari sumber air di sekitar tempat itu dan menemukan sebuah pendil berisi air
di atas sebuah batu besar yang sebenarnya adalah bekas wadah ari-ari mereka
sendiri.
Bongbang Larang yang tak sabar langsung menenggak isi pendil itu dengan lahap
sehingga kepalanya masuk dan tersangkut di dalam pendil seukuran kepalanya itu.
Sang adik yang kebingungan kemudian menuntun Bongbang Larang mencari seseorang
yang bisa melepaskan pendil itu dari kepala kakaknya. Berjalan terus kearah
timur akhirnya mereka bertemu seorang kakek bernama Aki Ganjar, sayang sekali
kakek itu tidak kuasa menolong Bongbang Larang, ia kemudian menyarankan agar
kedua remaja ini menemui Aki Garahang di pondoknya arah ke utara.
Aki Garahang yang ternyata adalah seorang pendeta bergelar Pendita Gunawisesa
Wiku Trenggana itu lalu memecahkan pendil dengan sebuah kujang sehingga
terbelah menjadi dua (kujang milik sang pendeta ini sampai sekarang masih
tersimpan di Pasucian Bumi Alit). Karena karomah atau kesaktian sang pendeta,
maka pendil yang terbelah dua itu yang sebelah membentuk menjadi selokan
Cipangbuangan, sedangkan sebelah lainnya menjadi kulah (kolam mata air) bernama
Pangbuangan.
Sebagai tanda terima kasih, kedua remaja itu kemudian mengabdi kepada Aki
Garahang di padepokannya, sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Majapahit.
Suatu ketika sang pendeta bepergian untuk suatu keperluan dan menitipkan
padepokannya kepada Bongbang Larang dan Bongbang Kancana dan berpesan agar
tidak mendekati kulah yang berada tidak jauh dari padepokan.
Kedua remaja yang penuh rasa ingin tahu itu tak bisa menahan diri untuk
mendatangi kulah terlarang yang ternyata berair jernih, penuh dengan ikan
berwarna-warni. Bongbang Larang segera saja menceburkan diri kedalam kulah itu
sementara sang adik hanya membasuh kedua tangan dan wajah sambil merendamkan
kedua kakinya.
Betapa terkejutnya sang adik ketika Bongbang Larang naik ke darat ternyata
wajah dan seluruh tubuhnya telah ditumbuhi bulu seperti seekor harimau loreng.
Tak kalah kagetnya ketika Bongbang Kancana bercermin ke permukaan air dan
ternyata wajahnya pun telah berubah seperti harimau sehingga tak sadar
menceburkan diri kedalam kulah. Keduanyapun kini berubah menjadi dua ekor
harimau kembar jantan dan betina.
Hampir saja kedua harimau itu akan dibunuh oleh Aki Garahang karena dikira
telah memangsa Bongbang Larang dan Bongbang Kancana. Namun ketika mengetahui
kedua harimau itu adalah jelmaan dua putera-puteri kerajaan Pajajaran yang
menjaga padepokannya sang Pendeta tidak bisa berbuat apa-apa. Ia berpendapat
bahwa kejadian itu sudah menjadi kehendak Yang Mahakuasa, ia berpesan agar
kedua harimau itu tidak mengganggu hewan peliharaan orang Panjalu, apalagi
kalau mengganggu orang Panjalu maka mereka akan mendapat kutukan darinya.
Kedua harimau jejadian itu berjalan tak tentu arah hingga tiba di Cipanjalu,
tempat itu adalah kebun milik Kaprabon Panjalu yang ditanami aneka sayuran dan
buah-buahan. Di bagian hilirnya terdapat pancuran tempat pemandian keluarga
Kerajaan Panjalu. Kedua harimau itu tak sengaja terjerat oleh sulur-sulur
tanaman paria oyong (sayuran sejenis terong-terongan) lalu jatuh terjerembab
kedalam gawul (saluran air tertutup terbuat dari batang pohon nira yang
dilubangi) sehingga aliran air ke pemandian itu tersumbat oleh tubuh mereka.
Prabu Sanghyang Cakradewa terheran-heran ketika melihat air pancuran di
pemandiannya tidak mengeluarkan air, ia sangat terkejut manakala diperiksa
ternyata pancurannya tersumbat oleh dua ekor harimau. Hampir saja kedua harimau
itu dibunuhnya karena khawatir membahayakan masyarakat, tapi ketika mengetahui
bahwa kedua harimau itu adalah jelmaan putera-puteri Kerajaan Pajajaran, sang
Prabu menjadi jatuh iba dan menyelamatkan mereka dari himpitan saluran air itu.
Sebagai tanda terima kasih kedua harimau itu bersumpah dihadapan Prabu
Sanghyang Cakradewa bahwa mereka tidak akan mengganggu orang Panjalu dan
keturunannya, bahkan bila diperlukan mereka bersedia datang membantu orang
Panjalu yang berada dalam kesulitan. Kecuali orang Panjalu yang meminum air
dengan cara menenggak langsung dari tempat air minum (teko, ceret, dsb), orang
Panjalu yang menanam atau memakan paria oyong, orang Panjalu yang membuat gawul
(saluran air tertutup), maka orang-orang itu berhak menjadi mangsa harimau
jejadian tersebut.
Selanjutnya kedua harimau kembar itu melanjutkan perjalanan hingga tiba di
Keraton Majapahit dan ternyata setibanya di Majapahit sang ayah telah bertahta
sebagai Raja Majapahit. Sang Prabu sangat terharu dengan kisah perjalanan kedua
putera-puteri kembarnya, ia kemudian memerintahkan Bongbang Larang untuk
menetap dan menjadi penjaga di Keraton Pajajaran, sedangkan Bongbang Kancana
diberi tugas untuk menjaga Keraton Majapahit.
Pada waktu-waktu tertentu kedua saudara kembar ini diperkenankan untuk saling
menjenguk. Maka menurut kepercayaan leluhur Panjalu, kedua harimau itu selalu
berkeliaran untuk saling menjenguk pada setiap bulan Maulud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar